“Ohayou Gozaimasu, Yuki-hime,”
panggil Kyan sambil menepuk bahu Uruha yang sedang menunggu di depan rumahnya dengan
riang. Kecantikan dan ke’dingin’an Takashima Uruha yang sudah terkenal,
membuatnya mendapat julukan Yuki-hime. Dan, justru karena ekspresi nya yang
dingin dan datar, membuatnya terlihat seksi dimata pria.
“Ohayou, Kyan-kun, Akai-chan.”
Uruha menatap kedua sahabat kecilnya ini dengan penuh arti. Kyan Yutaka yang
cengiran cerianya tidak pernah hilang dari wajahnya, dan Amano Akai yang selalu
tersenyum malu-malu menghadapi tingkah sinting Kyan.
Senyuman… ah, Uruha bahkan sudah
lupa kapan terakhir kali ia tersenyum. Andai saja…
“Uru-nyan, Daijoubu?” tanya Akai
dengan pandangan cemas.
Uruha menggeleng pelan. “Ah, lebih baik kita pergi sekarang,
Gackt-sensei sepertinya masih marah dengan ulahmu kemarin, Kyan-kun,” kata Uruha mengalihkan pembicaraan sambil bergidik
sendiri mengingat kemarahan Gackt –sensei kemarin gara-gara ulah Kyan yang ber’
bungee jumping dari kelas.
“Hey, bukan salahku, Gackt-sensei
tidak punya jiwa muda yang mencintai tantangan,” sanggah Kyan sambil menyamakan
langkah Uruha.
Uruha memutar bola matanya. Ingin
rasanya ia memotong dan membedah kepala Kyan untuk memperbaiki isi otaknya yang
sepertinya sudah tidak tertolong lagi itu.
“Dan, bukan salah Gackt-sensei
juga kalau dia terlambat menarikmu naik sebelum kau jatuh dan mematahkan semua
tulangmu, Kyan,” kata Akai sinis disambut cibiran Kyan.
“Urusee…”
***
“Genji!!!”
panggil Uruha dengan riang sambil berlari kecil. Untaian bunga di yang
membentuk mahkota yang bertengger diatas rambut coklatnya membuat wajahnya
semakin manis.
Bocah
berambut hitam yang ia panggil Genji itu terdiam. Pipinya merona merah muda.
“Genji,
ini…” kata Uruha sambil tersenyum manis menyerahkan untaian bunga yang sedari
tadi ia susun.
“Kau…”
kata bocah itu sambil menundukkan kepala. “KALAU TERSENYUM KAU SANGAT JELEK
TAU!!!” katanya sambil membuang untaian Bunga dari Uruha sebelum berlari pergi
meninggalkannya yang menangis sesunggukan.
***
“Uru-chan! Uru-chan!”
Uruha terbangun dari mimpi
buruknya tepat ketika Gackt-sensei masuk berkat Aki yang menggoncangkan bahunya
dengan kekuatan penuh.
“Cari mati kau, tidur saat
pelajaran Gackt-sensei,” kata Aki, teman sebangkunya mengingatkan.
Uruha mengangguk berterima kasih,
lalu memfokuskan pandangannya kedepan. Sekilas, ia mendengar suara Akai yang
duduk di belakangnya mengancam Kyan.
“Kalau kau bertingkah lagi,
lupakan kencan kita minggu depan!” desis Akai dengan nada mengintimidasi
disambut desahan pasrah Kyan.
Kencan? Tunggu, sejak kapan
mereka berkencan? Uruha menaikkan sebelah alisnya. Ia tahu, cepat atau lambat
mereka pasti akan menjalin hubungan ‘lebih’. Uruha tahu lebih daripada yang
lainnya, ia sudah kenal Kyan dan Akai sejak masih TK. Tapi, hey, mereka anggap
Uruha siapa? Berkencan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Kalau berani, Uruha pasti akan
menengok dan meminta penjelasan. Sayang, satu-satunya yang bisa dilakukan
selama pelajaran Gackt-sensei, yang juga wali kelas mereka, hanyalah diam dan
memperhatikan pelajaran. Berbahaya.
“Allright, minna, hari ini kita
kedatangan anggota baru. Ia pernah tinggal disini sewaktu kecil, jadi mungkin
ada diantara kalian yang mengenalnya,” kata Gackt-sensei disambut bisik-bisik
penasaran dari sana-sini. “Darvish Kenji, masuklah.”
Seorang pria bertubuh tinggi dan
sintal, dengan wajah yang ditutup oleh face painting ala kabuki masuk. Face
painting bukan hal yang wajar diaplikasikan sehari-hari apalagi oleh seorang
siswa baru. Anehnya, Gackt-sensei sepertinya tidak mempermasalahkan hal ini
sama sekali.
“Minna-san, hajimemashite,
Darvish Kenji desu. Yoroshiku onegaishimasu!” kata Kenji dengan tenang, dan
setelah dipersilahkan, duduk dibangku yang ditunjuk Gackt-sensei, di ujung
depan.
“Well, dia bisa jadi teman ‘bermain’ yang bagus untuk Yutaka-kun,” bisik Aki
memberi penilaian setelah reda dari rasa kagetnya.
“Bisa jadi…”gumam Uruha setuju.
Ber-face painting di hari pertama sekolah, bisa jadi otaknya sama rusaknya
dengan Kyan yang pernah melakukan hal yang sama dan berakhir dengan hukuman
bertubi-tubi.
“Kenapa Gackt-sensei sepertinya
biasa saja ya?” tanya Aki dengan suara serendah yang ia bisa.
Pertanyaan yang bagus, batin
Uruha. Awal semester lalu, Kyan menggambari mukanya ala Gachapin dan ia
langsung dimasukkan ke ruang hukuman selama seharian penuh. Uruha ingat,
bagaimana ia dan Akai menunggu Kyan keluar sampai sore. Bila bukan karena
ancaman gagal kencan dari Akai, Uruha yakin, Kyan pasti akan melontarkan
protesnya.
Darvish Kenji… Uruha memandang
punggung lebar Kenji dengan pandangan menimbang. Ia belum bisa memutuskan,
apakah anak ini menarik untuk diajak berteman atau tidak, mengingat ia sangat
pemilih soal teman.
Uruha menghela nafas sambil
membuka buku catatannya, bila dugaan Aki benar, mungkin tidak, satu orang
seperti Kyan saja sudah lebih dari cukup.
***
“Bangun, pemalas!” teriak Reno
sambil mengibaskan selimut yang menutupi seluruh tubuh adiknya satu-satunya
itu. “Tidur terlalu lama akan membuat lemakmu bertambah banyak!”
“Uruseee!!!” pekik Akai sebal
sambil mencoba menarik kembali selimutnya. “Urus lemak di pahamu sendiri!”
“Apa kau bilang?!” teriak Reno
sambil menyalakan penyedot debu tepat diatas rambut Akai yang langsung memekik
kesakitan.
“Niii-chaaan!!! Reno-nii
mengganggukuu!!!” teriak Akai mengadu pada Tora, kakaknya yang tertua sekaligus
kepala rumah tangga.
“Bukan salahku! Dia susah bangun!”
bantah Reno tidak mau disalahkan.
Tora yang tengah sibuk berkutat
dengan masakan eksperimennya di dapur hanya menggelengkan kepala. Ritual hari
Minggu, begitu ia menyebut keributan yang selalu terjadi setiap pagi di hari
libur.
“Ano, Tora-san, bolehkah aku saja
yang membangunkan?” tanya Kyan yang sedari tadi sudah menunggu.
“Kyan-kun, sampai kapanpun
jawabannya akan tetap sama. NEVER!”gertak Tora. Walaupun ia tau Kyan sejak ia
masih sangat kecil, tapi ia tidak mudah mempercayakan adiknya begitu saja. “Kai,
tidurlah lagi, kalau kau mau membuat Kyan-kun menunggu lebih lama!”
“Are??? Kyan, kau sudah disini???”
teriak Akai dari dalam kamar. “Chotto matte yo!”
***
Langit begitu cerah hari ini, angin
berhembus sepoi-sepoi. Benar-benar cuaca yang sempurna untuk bersenang-senang
diluar ruangan. Uruha menaikkan kacamata hitamnya, sambil memandang hamparan
air di depannya. Segala fasilitas yang ada di rumah mewahnya ini, sama sekali
tidak membuatnya bahagia. Apa artinya rumah dan segala harta benda kalau tidak
ada kasih sayang keluarga di rumah ini?
Kadang, Uruha merasa jauh lebih
tenang dan nyaman berada di apato keluarga Amano yang mungil itu. Tempatnya
memang sederhana, tapi rasa kekeluargaan antara Akai dan kedua kakaknya membuat
Uruha merasa nyaman sekaligus iri.
“Huft, mungkin aku perlu
penyegaran,” gumam Uruha sambil memainkan ujung rambutnya dengan jari, lalu
bangkit menuju tempat yang ia tahu pasti dapat memberikan apa yang dia
inginkan.
***
Tempat ini lagi… bukit ini masih
belum berubah sejak terakhir kali ia mendatanginya. Pemuda itu menatap keatas
pohon sakura, seketika ingatan akan masa kecilnya kembali berputar di dalam
otaknya.
Lima
orang bocah itu tampak gembira bermain diatas pohon yang mereka gunakan sebagai
markas rahasia mereka.
“Lihat,
lihat, aku bisa lebih tinggi dari ini,” ujar salah satu dari mereka yang
rambutnya diikat dua dan memakai baju hijau, sambil memanjat lebih tinggi.
“Hey! Aku
juga bisa lebih tinggi lagi!” kata Genji tidak mau kalah.
“Baka!” bocah
berambut coklat pendek itu tersenyum manis sambil menggelengkan kepalanya,
melihat tingkah teman-temannya. “Well, aku lebih suka disini, lebih aman. Iya
kan?”
Kenji dan
seorang bocah lain berambut hitam legam itu mengangguk bersamaan. Bagi Kenji,
apapun yang berhubungan dengan persaingan dengan Genji, saudara kembarnya, adalah
hal yang sangat ia hindari.
BRUUUAAAAAKKKK!!!!!!
Suara
gaduh itu disambut suara tangis dari bocah dengan rambut diikat dua yang
ternyata baru saja jatuh. Dengan gesit, Kenji berlari kearahnya.
“Daijoubu?”
tanya nya sambil memeriksa kening anak itu yang berdarah. “Tenang… tenang…”
gumamnya sambil memberikan ciuman lembut, untuk menenangkannya.
“Darvish-kun?”
Lamunan Kenji buyar oleh
kedatangan Uruha. Uruha masih menatapnya dengan pandangan heran. Bukan sembarang
orang yang tahu tempat ini. Dia kira, yang tahu tempat ini hanya dia, Akai dan
Kyan, yang memang menggunakan tempat ini sebagai tempat ‘pelarian’ dari dulu.
“Kenji… panggil aku, Kenji.”
“Ah… Kenji, sedang apa kau
disini?” tanya Uruha sambil menelengkan kepalanya, menatap dalam-dalam, mencoba
menebak muka asli di balik face painting Kenji.
“Melarikan diri dari realita
kurasa… kau sendiri?”
“Ah… sama,” jawab Uruha sambil
mengangguk. “Tempat ini, adalah tempat favoritku dari kecil. Tenang, sepi, dan…”
“Bisa melihat view kota dari
atas?”
Uruha mengangguk lagi. “Kebetulan
sekali bukan? Aku kira tidak ada orang lain yang tahu tempat ini selain aku,
Akai dan Kyan…”
“Aku kira juga begitu, sebelumnya…”
gumam Kenji tertegun. Tunggu… mungkin kah… Uruha… Uruha adalah cinta pertamanya
dulu? Satu-satunya persaingan yang mau ia lakukan dengan Genji? Memperebutkan senyum
termanis dari Uruha.
“Ne? Nande?” tanya Uruha merasa
diperhatikan.
Kenji menggeleng. “Nandemonai…”
Well, kalaupun iya, dia sudah bukan Kenji yang dulu lagi. Mustahil ia akan
mendapatkan Uruha sekalipun Genji tidak ada dengan penampilan yang seperti ini.
Mustahil…
***
“Baka!” ujar Akai gemas sambil
mengelap sisa es krim yang belepotan di muka Kyan. “Bahkan makanpun kau tidak
bisa tenang.”
“Aku akan tenang kalau kau
membersihkannya dengan bibirmu.”
“Kubunuh kau!” umpat Akai sambil
berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang memerah.
Kyan hanya menyeringai sambil
membentuk tanda ‘peace’ dengan tangannya. Sekalipun dia wanita, pukulannya
cukup menyakitkan di tubuh Kyan yang mungil dan kurus ini. Kyan bisa
membayangkan, bagaimana tulang-tulangnya rontok satu persatu dipukul gadis
pujaannya sejak kecil ini. Mengerikan.
***
TBC