Jumat, 22 Juni 2012

untitle


Bagaimana jika manusia…
Ingin menembus kefanaannya…
Menetapkan keabadian bagi hidupnya…
Berusaha menandingi…
Atau menjadi Tuhan…
Bagi dunia…
***
Aku menendang kaleng kosong tak berdosa itu sekuat tenaga, seolah itu cukup untuk melampiaskan semua kekesalanku. Satu-satunya dosa kaleng itu, yang aku pikirkan untuk membenarkan tindakanku adalah dia berada di depanku saat aku sedang kesal. Siapapun tahu, Ziel Kugyou d’Arc tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi jalannya selamat saat dia sedang kesal.
Bagaimana aku tidak kesal? Satu persatu teman-temanku menghilang tanpa jejak dan polisi-polisi itu hanya memasukkan kasus hilangnya mereka ke dalam sebuah dokumen tanpa ada tindakan lanjut hanya karena mereka anak jalanan. Aku ingin tahu, apa mereka juga akan bertindak seperti itu jika yang menghilang adalah aku?
“Okaeri nasai,” sapa Lyn sambil tersenyum lebar menyambutku. “Kau… terlihat kurang bersemangat.”
Aku tersenyum tipis sambil melemparkan jaketku ke Lyn. Kurang bersemangat? Hey, emosiku nyaris berada dipuncak dan dalam fase seperti ini aku mampu melakukan apapun tanpa kehilangan energy yang berarti yang artinya, semangatku sedang menggebu-gebu.
“Kau menyindir?”
Lyn tertawa sambil mengikutiku naik ke kamar. “Aku cuma ingin memastikan, semangatmu tidak membahayakan siapapun…lagi.”
Aku memutar bola mataku. “Ayolah, kau kira aku siapa? Penjahat kambuhan?”
“Aku hanya melaksanakan tugasku.”
“Aku harap tugasmu tidak mengurangi privasi ku, Lyn,” kataku jengah sambil membanting pintu sebelum dia sempat mengikutiku masuk ke dalam kamar. Lama-lama, situasi di rumah ini semakin tidak kondusif sejak kakakku pergi dari rumah. Si brengsek itu… mengubah hidupku nyaris tiga ratus enam puluh derajat.
Aku membuka laptopku dan langsung dibanjiri belasan e-mail dari perusahaan ayahku tentang berbagai keputusan yang harus kuperhitungkan. Apa peduliku? Ini bukan jatahku, ini jatah Alex. Sekalipun dia sudah pergi entah kemana, bukan berarti aku mau mengambil alih ini semua. Kan?
Ditambah kejadian semalam, dalam lima bulan ini, sudah ada  orang yang menhilang secara misterius. Sebenarnya, ada sedikit kecurigaanku yang mengarah ke ayahku. Aku tahu dia sangat benci dengan pergaulanku yang dinilai kurang layak bagiku. Tapi, aku jauh lebih yakin, ayahku lebih memilih cara ‘aman’ seperti mengirim Lyn untuk mengawasiku daripada membunuh satu persatu teman-temanku.
Membunuh.
Kata yang sangat pesimis mengingat aku bahkan tidak tahu mereka masih hidup atau tidak. Bahkan, sampai saat ini belum ada kabar penemuan mayat sama sekali.
Satu satunya petunjuk bagiku hanyalah fakta bahwa mereka menghilang di waktu yang sama setiap bulan, sehari sebelum bulan purnama tiba. Lalu?
***
Aku duduk diatas tumpukan rongsokan sambil menahan dingin dengan cara mendekap tubuhku sendiri. Hari ini, tepat sehari sebelum bulan purnama tiba, dan aku sudah memastikan semua temanku, yang menurutku berpotensi menjadi korban, berada di dalam gudang di depanku. Aman bukan?
Sebuah suara gemerisik membuatku memasang sikap waspada sambil menajamkan pengelihatan kesegala arah. Siapapun bisa bersembunyi dengan mudah di gunungan rongsokan seperti ini. Aku berdiri dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara. Bulu kudukku berdiri saat kurasakan ada tanda-tanda kehidupan di belakangku. Setankah? Atau…
“Hyaaaa!!!!”
“Kyaaaaa~~~”
Jeritan khas itu menghentikan gerakan tanganku yang tadinya hendak memukulnya, siapapun atau apapun yang dibelakangku. Lyn. Dia lagi.
“Kau! Kenapa...” aku terlalu emosi untuk bisa melanjutkan kata-kataku. Aku, pria dewasa 20 tahun dan masih dijaga oleh gadis 25 tahun kemana-mana. Apa kata dunia? Ini sudah keterlaluan.
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Zi!” kata Lyn dengan nada tenangnya yang khas.
“Bukan urusanmu!”
“Apapun yang berhubungan denganmu adalah urusanku!” kata Lyn dengan tegas sambil menatapku. Oke, aku hargai usahamu berusaha menundukkanku dengan menatapku seperti itu! Tapi percuma saja, Lyn! “Apapun bisa terjadi padamu, dan akhirnya akulah yang akan terkena imbasnya!”
“Kalau begitu, pulanglah dan berhenti mengikutiku!” kataku geram sambil membalikkan badan sebelum semuanya gelap…
***
Hawa panas membakar wajahku, membuat kesadaranku pulih lagi. Didepan mataku, kobaran api yang sangat besar melalap tanpa ampun bangunan yang tadinya berdiri tegak disana. Mereka… Aku tiba-tiba teringat semua teman-temanku di dalam sana. Selamatkah mereka? Aku ingin bangkit dan berlari memastikan mereka selamat atau paling tidak masih ada yang bisa diselamatkan tapi sepertinya tubuhku menolak diajak bekerja sama.
“Terima kasih, kau memudahkan pekerjaanku,” bisik sebuah suara yang sangat aku kenal sebelum kesadaranku kembali menghilang.
***
Aku terbangun disebuah ruang kosong berwarna putih bersih dengan tangan dan kaki terikat kuat. Sial! Siapa yang berani melakukan ini padaku? Aku mencoba melepaskan diri dan berusaha menghilangkan sedikit rasa panikku. Hasilnya? Bukannya terbuka, punggungku terkelupas karena bergesekan langsung dengan tembok yang ternyata sangat tidak rata di belakangku.
“Kau sudah sadar rupanya,” kata seorang pria berjas putih sambil masuk diikuti seorang wanita yang membawa nampan.
Aku menyipitkan mata, memastikan pengelihatanku tidak salah.
“Matamu masih bisa bertambah sipit lagi rupanya,” kata pria itu sambil tertawa mendengar leluconnya sendiri yang sangat rasis dan tidak tahu diri mengingat matanya tidak lebih besar dari mataku. “Kau kaget adik kecil?”
“Well… aku akan lebih kaget kalau kau mau melepaskan ikatanku!” kataku geram. Dia sudah sangat keterlaluan. Satu, dia membuatku dihujan proker perusahaan oleh ayah yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Dua, dia mengikatku seolah aku pasien rabies yang bisa kumat kapan saja. Tiga, dia… mungkin membunuh teman-temanku. Empat, karna dia kakakku… Alex.
Alex menggelengkan kepala sambil tertawa geli. “Tidak sebelum kau menyelesaikan ini semua, adik kecilku,” katanya sambil member tanda agar Lyn mendekat dan menyerahkan gelas berisi cairan berwarna merah itu.
“Berhenti memanggilku seperti itu! Dan… umph… gluk…” aku menghentikan kata-kataku dengan terpaksa karena tetes demi tetes cairan asin itu masuk kedalam tenggorokanku. “Brengsek kau! Apa ini?!”
“Kau tidak bertambah pintar rupanya,” gumamnya sambil berdecak heran, menggelengkan kepalanya. “Dari rasanya, harusnya kau sadar… ini kan darah pacarmu, siapa namanya?”
“Alicia,” kata Lyn mengingatkan.
“Jangan dimuntahkan! Atau aku terpaksa mencekokimu langsung dari mayatnya!” ancam Alex dengan tatapan sadis sebelum meninggalkan ruangan. “Tunggu sebentar.”
“KAU!!!” aku terlalu marah untuk bisa berkata-kata lagi.
“Lebih baik kau hemat tenaga mu, Zi,” kata Lyn sebelum mengikuti Alex keluar.
“Penghianat kau!” umpatku marah. Sial! Aku… bodoh! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bahkan untuk membersihkan noda darah yang menetes dari daguku pun aku tidak bisa. Sialan!
***
Punggungku terasa panas sepert terbakar. Ketika aku tersadar, aku berada di tengah-tengah tanda bintang yang digoreskan ke lantai dengan darah. Di setiap sudut, berdiri orang-orang yang mengenakan tudung berwarna hitam tengah merapalkan sesuatu seperti sebuah mantra. Bersamaan dengan semakin kencang ritme dan suara mereka, punggungku terasa semakin panas.
Salah satu dari mereka menyodorkan sebuah tangan manusia ke arahku. Alexis. Aku masih ingat tattoo naga yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Makan ini,” kata suara dingin nyaris tak berekspresi itu sambil terus menyodorkan tangan Alexis ke mulutku.
Kau gila? Kau menyuruhku memakan tangan sahabatku sendiri?! Dan sayangnya… entah bagaimana, tubuhku sepertinya menolak perintahku dan malah menuruti perintah mereka. Sedikit demi sedikit, aku merasakan gigiku menancap kuat di kulitnya, mengoyaknya, mengunyahnya lembut sebelum dagingnya masuk kedalam kerongkonganku. Ini diluar kendaliku.
Setelah ia mundur, salah satu yang lainnya maju, menarik rambutku hingga kepalaku mendongak dan aku nyaris bisa menatap wajahnya seandainya saja ruangan ini terang benderang.
“Buka matamu,” perintahnya dengan nada sama persis dengan orang yang pertama.
Bodoh! Kenapa kau buka matamu lebar-lebar Ziel! Kenapa kau turuti perintah mereka? Aku marah pada diriku sendiri yang menolak untuk ku kendalikan. Apa maunya tubuhku?
Dengan satu gerakan cepat, ornag itu merobek kelopak mataku dan menarik bola mata kiriku keluar. Darah segar mengalir perlahan dari mataku, membentuk sebuah genangan dramatis mengisi salah satu sisi kosong di dalam lingkaran dan diluar bintang itu.
Aku ingin berteriak… tapi lagi-lagi tubuhku menolak perintahku. Dengan sedikit paksaan, ia memasang sebuah bola mata yang lainnya, bukan milikku, ke dalam rongga mata kiriku.
Kapan ini akan berakhir? Kapan?
Orang ketiga menuju perapian, mengambil sebuah cap dari baja yang tampak merah membara sebelum berjalan ke arahku seperti dua orang sebelumnya. Sambil menggumamkan sebuah, mungkin, mantera ia menekan besi itu ke dadaku, menimbulkan kepulan asap dan menyisakan sebuah tanda berupa luka bakar yang membentuk sebuah symbol di dadaku.
Orang keempat sedikit lebih manusiawi, dia mengambil belati dari dalam kantong jubahnya. Belati putih bersih dengan ukiran rumit di gagangnya. Seperti orang-orang sebelumnya, ia menancapkan belati itu ke dadaku sambil merapalkan mantera. Ia menarik lagi belati itu dan memintaku menjilat darahku sendiri sebelum meletakkannya di salah satu sisi kosong di dalam lingkaran itu.
“Bangkitlah dari kegelapan abadi, ambillah kami, para pengikut setiamu menuju keabadian suci. Bangkitlah, tuanku…” ujar orang kellima sambil membakar lingkaran yang mengelilingi bintang tersebut. Aku sudah tidak bisa mendengar kata-kata lanjutannya lagi, sedikit demi sedikit semua inderaku sepertinya mulai mati. Jadi seperti ini rasanya mau mati?
Aku masih bisa melihat sekilas kelima orang yang mulai membuka tudungnya satu persatu. Alex, yang menatapku dengan tatapan kosong. Dia… sudah bukan abangku yang dulu lagi. Dia…
Salah satu dari mereka melakukan gerakan aneh, sebelum akhirnya terdengar suara ledakan yang sangat keras. Panas… dan gelap…
***
Aku menatap bayangan diriku di cermin. Mataku yang dulu berwarna biru gelap, kini berbeda warna satu sama lain. Warna mata Alex. Tubuhku yang dulu mati-matian aku jaga kemulusannya, kini berhias symbol-symbol aneh yang melekat secara permanen, membuatku tampak seperti seorang anggota sekte terlarang.
Sekte terlarang… kata itu mengingatkanku pada dua bulan lalu…
 “Semua arsip yang perlu kau tanda tangani sudah siap. Cepat mandi karena sebentar lagi kita akan bertemu klien. Bajumu sudah aku siapkan di dalam kamar mandi dan… berhenti memasang tampang bodoh seperti itu, pemalas!” kata Lyn sambil menjewer telingaku dan menggiringku masuk ke kamar mandi.
“Aww… kau… telingaku bisa copot!” kataku berusaha melepaskan jewerannya. Dia jadi semakin galak sejak kejadian itu. Tapi, aku akui, tindakan heroiknya dan pasukannya membuatku harus berterima kasih. Walaupun dia menipuku selama ini. Dia bukan wanita biasa, dia anggota Interpol yang memang bertugas menangani kasus ini. Sial.
“Ah iya, mungkin tidak penting sih, tapi aku kira kau harus tahu,” kata Lyn tiba-tiba sebelum aku masuk kamar mandi. “Aku keluar dari Interpol.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
Lyn tersenyum misterius sambil menendangku masuk kamar mandi. “Waktu adalah uang! Dan kalau kau masih menyia-nyiakan waktumu dnegan bengong seperti itu aku akan melaporkan pada ayahmu agar uang mu distop!”
***

lama ngga nulis, ternyata hasilnya aneh ya TT____TT

2 komentar:

  1. ceritanya ngegantung, akai... jadi ini genre misteri-thriller ya? awalnya sih keren, mengalir tapi mendekati ending kok lain ya, ngegantung, hihihihi... tetep semangattt :)

    BalasHapus
  2. sorry, aku lupa pake laptop adekku, hahahaha... ini aku Desi...

    BalasHapus