Hiroki menepuk-nepuk roknya
mengikuti irama lagu yang mengalun dari ipod nya sambil mengikuti Hiroto menuju
ruang music di rumah Amano bersaudara. Rumah ini tampak cukup terawat mengingat
hanya ada Tora, Shou dan adik mereka, Akai di rumah ini sejak kedua orang tua
mereka menghilang dua tahun yang lalu.
“Kai, kau ikut latihan? Tumben…”
sapa Hiroki sambil duduk di sebelah Akai.
“Dia sedang dihukum…” jelas Shou
sambil menepuk-nepuk mic nya.
“Biarkan aku di kamarku!” kata Akai
merajuk sambil menatap kakaknya yang lain, Tora, meminta dukungan. “Aku… mau
belajar.”
Shou menggeleng tegas. “Kalau kau
dibiarkan lepas sedikit saja dari pandangan, kau pasti kabur dengan si Masahito
itu!” kata Shou sambil menyerahkan mic ke Hiroki. “Dan lagipula, sejak kapan
kau belajar?” sindir Shou tajam. “Ayo mulai latihannya.”
Hiroki menatap Akai dengan
pandangan maaf-ya-aku-tidak-bisa-berbuat-apapun-tapi-semangat-lah sebelum
akhirnya perhatiannya teralih ke kertas yang berisi lirik lagu yang mereka
mainkan dan… Shou. Dari sekian banyak hal, mungkin hanya Shou lah satu-satunya
alasan yang membuatnya cukup bangga dengan suaranya yang sepert pria. Tapi, tak
apalah… selama itu bisa membantu Shou.
Hiroki ingat, tiga tahun lalu,
ketika dia masih duduk di kelas 2 SMP…
“Ini
rumahnya?” tanya Hiroki pada saudara kembarnya, Hiroto, sambil menatap rumah
yang cukup besar itu.
Hiroto
mengangguk. “Kau yang serahkan,” katanya sambil menyorongkan bungkusan besar
berbentuk hati pada Hiroki.
“Kenapa
aku?”
“Karena
aku malu…”
“Tapi
kau pria! Lagipula, untuk apa kau malu pada kohaimu sendiri?”
“Aku
takut dia menolakku…”
“Kau
kembaranku dan kau hebat, dia pasti suka,” kata Hiroki walaupun dia kurang
yakin bukan karena Hiroto jelek atau bagaimana, tapi karena Hiroki bahkan belum
pernah bertemu dengan gadis yang sedang menjadi pujaan hati kembarannya
sekalipun Hiroto hampir selalu menyebut nama Akai disetiap pembicaraan.
“Tapi…”
“Maju
atau aku tinggal pulang!”
“Eeeehhhhh!!!”
“Err…
Hiro-senpai? Sedang apa disitu?” sapa seorang gadis dibelakang mereka. Gadis dan
pria disebelahnya tampak menenteng banyak belanjaan.
“A…
A…” Hiroto tergagap sambil menyikut Hiroki untuk membantunya, tetapi Hiroki
terlalu terpana dengan pria disebelah Akai.
“Mabushiii…”
gumam Hiroki memberi komentar.
“Ah,
ini pasti Hiroki-senpai? Yak an?” tanya Akai sambil menyapa Hiroki. “Ah, iya,
Hiro-senpai, ini kakakku… Shou… ayo masuk, lebih baik kalian berdua berdebat di
dalam saja daripada disini.”ujar Akai sambil menyeringai.
Hiroki ingat, saat itu juga pertemuan
pertamanya dengan Tora, Saga dan Nao. Hingga akhirnya, mereka bisa membentuk
band dengan Hiroki sebagai vokalisnya. Tetapi, suara Hiroki yang sangat mirip
pria menjadi sumber masalah mereka hingga akhirnya… Shou lah yang ditunjuk
menjadi vokalis sekalipun suara Shou nyaris tidak terdengar karena radang
tenggorokan yang pernah dia derita sewaktu kecil. Jalan terakhir yang diambil…
lip sync.
***
Masahito Byou meniup tengkuk Hiroki
yang tengah berdiri di depan pintu kelas sambil menunggu Hiroto kembali dari
kantin. Datang bulan membuatnya merasa mudah lelah bahakan untuk sekedar
berjalan ke kantin membeli makan siang.
“Bilang pada saudaramu, aku pamit
pulang. Kalau ada sensei yang bertanya bilang saja aku sakit,” kata Byou sambil
membenarkan letak tasnya.
Hiroki mengangkat sebelah alisnya. “Kau
bahkan tampak sangat sehat. Mau kemana kau?”
Byou mengerling misterius. “Sakit
cinta dan bukan urusanmu aku mau kemana, tugasmu cukup bilang pesanku ke bapak
ketua kelas kita. Oke? Jya neee.”
“Aku bukan babumu!” seru Hiroki
sebal sambil menatap punggung Byou yang mulai menjauh.
***
Akai melirik ke jam dinding kamar
Byou, perasaan bersalah dan tidak enak mulai berkecamuk di dalam hatinya.
Salahkah semua yang dia lakukan ini? Kedua kakaknya mungkin akan mengamuk kalau
tau… apa lagi shou-nii.
“Kenapa kau sayang? Ada yang kau
pikirkan?” tanya Byou sambil mencium leher Akai dan menggengdongnya ke
pangkuan.
Akai menggeleng perlahan.
“Kau tau… aku belum pernah merasa
seperti ini sebelumnya,” kata Byou lalau mencium bibir Akai. “Bibirmu lembut…”
Akai tersenyum sambil menjatuhkan
kepalanya ke pundah Byou, membiarkan tangan hangat Byou mendekapnya lebih erat.
“Aku ingin kita bisa bersatu…”
gumam Byou memejamkan mata. “Mereka tidak berhak melarang cinta kita…”
“Aku tau…”
“Aku sayang kamu…”
“Aku juga…”
“Maukah kau denganku terus?”
“Ya…”gumam Akai sebelum dia
merasakan sentuhan dingin menusuk perutnya.
“Kita akan bersatu… dikehidupan
setelah ini sayang…”
***
“Hiroki! Ah, aku mencarimu
kemana-mana…” kata Shou sambil menghampiri Hiroki dengan wajah sumringah. “Aku
butuh waktumu sebentar…”
“Ah, aku pulang dulu kalau gitu,”
kata Hiroto sambil mengerling gaje ke arah saudara kembarnya. “Semoga
beruntung,” bisik Hiroto sambil tersenyum penuh arti. Paling tidak, bila
hubungan Hiroki dengan Shou berhasil, itu cukup untuk menutupi kegagalan Hiroto
mendapatkan Akai dulu.
“Kenapa Shou senpai?” tanya Hiroki
berusaha keras menghilangkan persaan groginya.
“Aku ingin mengajakmu kesuatu
tempat dan kau harus menyanyikan lagu ini untukku,” kata Shou sambil
menyerahkan lirik lagu 4U ke Hiroki.
“A… aku? Buat apa?” tanya Hiroki.
Ya Tuhan, jangan bilang dka ingin menyatakan perasaannya padaku.
“Kau akan tahu nanti malam…”
***
Saga menunggu sambil mengawasi
apartemen pencakar langit yang terletak di tengah kota tempatnya melihat Akai
masuk bersama seorang lelaki. Saga tau, jam segini seharusnya Akai masih berada
di sekolah, bukan di tempat seperti ini. Apa yang dia lakukan? Mungkin Tora
terlalu sibuk untuk menyambung hidupnya dan kedua adiknya sedangkan Shou
mungkin terlalu protektif sejak orantua mereka menghilang. Tapi, itu bukan alasan
yang tepat untuk melakukan hal yang menyimpang.
Seragam Wendy’s tempatnya bekerja
sambilan mash melekat di badan kurusnya. Kalau bukan karena perasaannya pada
Akai, mungkin dia tidak akan repot-repot minginggalkan shiftnya hanya untuk
mengintai berjam-jam seperti ini. Baginya, Akai sudah seperti adik perempuannya
sendiri apalagi, dia anak satu-satunya. Tapi, perasaannya mungkin bisa salah…
***
“Bersembunyilah disitu, dan
bernyanyilah ikutin aba-abaku…” kata Shou sambil menunjuk serumpun perdu di
halaman rumah mungil ini.
“Baiklah,” kata Hiroki menurut
sambil bertanya-tanya dalam hati, rumah siapakah ini? Tapi, apa pedulinya? Toh,
tugansya hanya bernyanyi, tidak lebih. Lagipula, demi Shou…
hoshikuzu
minamo ni ukabe
koko
de wa nai doko ka e to
kogidasu
tsuki no umi
nanbanchi
ka wakaranai keredo
omoi,
kogareteku…anata e
kimi
no tameni ima naniga dekiru?
chiisana
hikari datoshitatte
ima
boku ga kanjiteiru youna
yasashi sa
kimi ni mo agetaiyo
tadayou
inochi no hoshi de
deai
wa hitsuzen datta
wake
nado mitsukaranai
kimi
o aisuru kanjou ni wa
yuukyuu
no toki koe…anata e
dakishimeta
netsu wa samenai mama
hitomi
ga kimi o motometeru
kaketa
tsuki o tsunagi awaseruyo
kokoro ga
hitotsu ni natte yuku
kanashii
nara naite
ureshii
nara emi wo hitori janai
arigatou…
kimi
ga itakara aruite koreta
chiisana
hikari dato shitatte
hanaretetemo
shinjiteku koto no
tsuyosa
o oshiete kureta ne
kanashiikara
naite
ureshiikara
emi o
onaji
michi de zutto kanadete ikou
“Aku sayang kamuuu!!!!!!” teriak
Shou.
“Aku juga…” kata Hiroki lirih
saking shock dan bahagianya suaranya tiba-tiba menghilang.
“Aku mau kamu jadi milikku!!!”
“Aku….” Hiroki mendongak dan baru
tersadar, dia tidak hanya berdua saja dengan Shou, tapi ada satu gadis lagi di
depan mereka.
“I love you,” ulang Shou sambil
menatap gadis itu mesra.
Hiroki ternganga, dia baru
menyadari, betapa bodohnya dia. Kenapa dia bisa mengira Shou menyatakan itu
untuknya? Bodoh! Perlahan, Hiroki memilih pergi dari situ tanpa menimbulkan
suara.
“Semoga kau bahagia Shou-senpai…”
katanya sambil menahan tangis.
***
Tora berjalan mondar-mandir di
depan rumahnya dengan gusar. Ekspresinya saat itu benar-benar seperti macan
yang siap mengamuk, menerkam siapa saja yang mengganggu. Baru kali ini, dia
pulang malam dan mendapati rumahnya masih kosong tanpa ada pemberitahuan
terlebih dahulu baik dari Akai ataupun Shou.
“Kemana mereka berdua?” gumam Tora
geram sambil mencoba menghubungi kedua adiknya. Tapi hasilnya nihil. Mereka berdua
tidak mengangkat telepon dari Tora. Wajar saja Tora was-was, hilangnya kedua
orangtuanya menimbulkan trauma yang cukup parah apalagi, kedua adiknya sekarang
menjadi tanggung jawabnya penuh.
“Tadaima…” gumam Shou lesu dengan
muka sendu sambil membuka gerbang. “Ah, Tora-nii kau belum masuk?!”
“BAKA! KEMANA SAJA KALIAN SEHARIAN
INI?!” bentak Tora penuh amarah.
“A… aku…”
“Mana Akai?”
Shou menatap Tora dengan tatapan
heran sekaligus takut. “Bukannya dia sudah pulang?”
“PULANG KEMANA? RUMAH INI KOSONG!!!”
Shou menganga lalu menepuk
jidatnya. “Mati aku…”
***
“Sudahlah… banyak pria di dunia
ini,” kata Hiroto sambil mengulurkan tissue ke Hiroki yang menangis
sesunggukan. “Sepertinya Amano bersaudara memang memiliki gen mematahkan hati
bagi keluarga kita ya?”
“Jangan samakan aku denganmu Pon!”
bentak Hiroki sambil memungut HP nya yang berbunyi.
“Siapa? Kenapa tak kau angkat?”
“Shou senpai, biarkan saja.”
Hiroto menggelengkan kepala sambil
berdecak. Lalu merogoh sakunya mengambil HP nya yang berbunyi. “Ah, dia
meneleponku juga rupanya…”
“Abaikan saja… ah, kenapa kau
angkat pon!” seru Hiroki gemas, merasa saudara kembarnya tidak merasakan
perasaan yang sama dengannya.
“Ah? Tidak. Aku tidak tahu. Kenapa?
Oh, iya… baiklah…”
“Kenapa?”
“Kau ini… kau tidak mau mengangkat
teleponnya, tetapi kau mau tau apa yang dia bicarakan,” ejek Hiroki sambil
menghindar dari pukulan Hiroki.
“Aku serius!”
“Dis tanya, apa Akai disini. Dia belum
pulang.”
“Akai?”
“Iya… aku tebak, mungkin saat ini
dia sedang melarikan diri dengan si Masahito itu. Aku heran, apa sih yang dia
lihat dari cowok berandal itu? Oke, dia memang sedikit lebih tampan dariku,
giginya lebih rata dariku, dan dia lebih tinggi dariku, lebih kaya, lebih… oh
shit! Oke, paling tidak aku lebih baik dan lebih pintar darinya, iya kan?”tanya
Hiroto meminta dukungan.
“Bisa jadi…” gumam Hiroki mengambil
hp nya. “Halo, aku mungkin tau dimana dia…”
***
Saga mengatur nafas sambil
menguatkan tekadnya. Pintu itu tidak terlalu kuat untuk sekedar dibuka paksa
dengan satu dua tendangan hasil latihan tae kwon do nya dari kecil. Masalahnya,
snaggupkah dia menahan semua masalah yang timbul setelah itu?
Tapi… Saga sudah tidak bisa menahan
kesabarannya setelah 10 jam menunggu diluar, apalagi, jam 11 malam adalah waktu
yang terlalu larut bagi wanita di dalam apartemen pria tanpa melakukan apapun.
Terlebih lagi… ada sedikit rasa
tidak rela…
“Yosh! Ganbatte Saga-kun!
HIYAAAAAAA~~~”
BRUAK!!!
***
Bersambung
wewww, kerennnn akaiii... penasaran sama lanjutannya... walau masih banyak typo dimana-mana... hahaha... aku tunggu next part ya... :)
BalasHapus