Jumat, 01 Juni 2012

voice


Hiroki menepuk-nepuk roknya mengikuti irama lagu yang mengalun dari ipod nya sambil mengikuti Hiroto menuju ruang music di rumah Amano bersaudara. Rumah ini tampak cukup terawat mengingat hanya ada Tora, Shou dan adik mereka, Akai di rumah ini sejak kedua orang tua mereka menghilang dua tahun yang lalu.
“Kai, kau ikut latihan? Tumben…” sapa Hiroki sambil duduk di sebelah Akai.
“Dia sedang dihukum…” jelas Shou sambil menepuk-nepuk mic nya.
“Biarkan aku di kamarku!” kata Akai merajuk sambil menatap kakaknya yang lain, Tora, meminta dukungan. “Aku… mau belajar.”
Shou menggeleng tegas. “Kalau kau dibiarkan lepas sedikit saja dari pandangan, kau pasti kabur dengan si Masahito itu!” kata Shou sambil menyerahkan mic ke Hiroki. “Dan lagipula, sejak kapan kau belajar?” sindir Shou tajam. “Ayo mulai latihannya.”
Hiroki menatap Akai dengan pandangan maaf-ya-aku-tidak-bisa-berbuat-apapun-tapi-semangat-lah sebelum akhirnya perhatiannya teralih ke kertas yang berisi lirik lagu yang mereka mainkan dan… Shou. Dari sekian banyak hal, mungkin hanya Shou lah satu-satunya alasan yang membuatnya cukup bangga dengan suaranya yang sepert pria. Tapi, tak apalah… selama itu bisa membantu Shou.
Hiroki ingat, tiga tahun lalu, ketika dia masih duduk di kelas 2 SMP…
“Ini rumahnya?” tanya Hiroki pada saudara kembarnya, Hiroto, sambil menatap rumah yang cukup besar itu.
Hiroto mengangguk. “Kau yang serahkan,” katanya sambil menyorongkan bungkusan besar berbentuk hati pada Hiroki.
“Kenapa aku?”
“Karena aku malu…”
“Tapi kau pria! Lagipula, untuk apa kau malu pada kohaimu sendiri?”
“Aku takut dia menolakku…”
“Kau kembaranku dan kau hebat, dia pasti suka,” kata Hiroki walaupun dia kurang yakin bukan karena Hiroto jelek atau bagaimana, tapi karena Hiroki bahkan belum pernah bertemu dengan gadis yang sedang menjadi pujaan hati kembarannya sekalipun Hiroto hampir selalu menyebut nama Akai disetiap pembicaraan.
“Tapi…”
“Maju atau aku tinggal pulang!”
“Eeeehhhhh!!!”
“Err… Hiro-senpai? Sedang apa disitu?” sapa seorang gadis dibelakang mereka. Gadis dan pria disebelahnya tampak menenteng banyak belanjaan.
“A… A…” Hiroto tergagap sambil menyikut Hiroki untuk membantunya, tetapi Hiroki terlalu terpana dengan pria disebelah Akai.
“Mabushiii…” gumam Hiroki memberi komentar.
“Ah, ini pasti Hiroki-senpai? Yak an?” tanya Akai sambil menyapa Hiroki. “Ah, iya, Hiro-senpai, ini kakakku… Shou… ayo masuk, lebih baik kalian berdua berdebat di dalam saja daripada disini.”ujar Akai sambil menyeringai.
Hiroki ingat, saat itu juga pertemuan pertamanya dengan Tora, Saga dan Nao. Hingga akhirnya, mereka bisa membentuk band dengan Hiroki sebagai vokalisnya. Tetapi, suara Hiroki yang sangat mirip pria menjadi sumber masalah mereka hingga akhirnya… Shou lah yang ditunjuk menjadi vokalis sekalipun suara Shou nyaris tidak terdengar karena radang tenggorokan yang pernah dia derita sewaktu kecil. Jalan terakhir yang diambil… lip sync.
***
Masahito Byou meniup tengkuk Hiroki yang tengah berdiri di depan pintu kelas sambil menunggu Hiroto kembali dari kantin. Datang bulan membuatnya merasa mudah lelah bahakan untuk sekedar berjalan ke kantin membeli makan siang.
“Bilang pada saudaramu, aku pamit pulang. Kalau ada sensei yang bertanya bilang saja aku sakit,” kata Byou sambil membenarkan letak tasnya.
Hiroki mengangkat sebelah alisnya. “Kau bahkan tampak sangat sehat. Mau kemana kau?”
Byou mengerling misterius. “Sakit cinta dan bukan urusanmu aku mau kemana, tugasmu cukup bilang pesanku ke bapak ketua kelas kita. Oke? Jya neee.”
“Aku bukan babumu!” seru Hiroki sebal sambil menatap punggung Byou yang mulai menjauh.
***
Akai melirik ke jam dinding kamar Byou, perasaan bersalah dan tidak enak mulai berkecamuk di dalam hatinya. Salahkah semua yang dia lakukan ini? Kedua kakaknya mungkin akan mengamuk kalau tau… apa lagi shou-nii.
“Kenapa kau sayang? Ada yang kau pikirkan?” tanya Byou sambil mencium leher Akai dan menggengdongnya ke pangkuan.
Akai menggeleng perlahan.
“Kau tau… aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya,” kata Byou lalau mencium bibir Akai. “Bibirmu lembut…”
Akai tersenyum sambil menjatuhkan kepalanya ke pundah Byou, membiarkan tangan hangat Byou mendekapnya lebih erat.
“Aku ingin kita bisa bersatu…” gumam Byou memejamkan mata. “Mereka tidak berhak melarang cinta kita…”
“Aku tau…”
“Aku sayang kamu…”
“Aku juga…”
“Maukah kau denganku terus?”
“Ya…”gumam Akai sebelum dia merasakan sentuhan dingin menusuk perutnya.
“Kita akan bersatu… dikehidupan setelah ini sayang…”
***
“Hiroki! Ah, aku mencarimu kemana-mana…” kata Shou sambil menghampiri Hiroki dengan wajah sumringah. “Aku butuh waktumu sebentar…”
“Ah, aku pulang dulu kalau gitu,” kata Hiroto sambil mengerling gaje ke arah saudara kembarnya. “Semoga beruntung,” bisik Hiroto sambil tersenyum penuh arti. Paling tidak, bila hubungan Hiroki dengan Shou berhasil, itu cukup untuk menutupi kegagalan Hiroto mendapatkan Akai dulu.
“Kenapa Shou senpai?” tanya Hiroki berusaha keras menghilangkan persaan groginya.
“Aku ingin mengajakmu kesuatu tempat dan kau harus menyanyikan lagu ini untukku,” kata Shou sambil menyerahkan lirik lagu 4U ke Hiroki.
“A… aku? Buat apa?” tanya Hiroki. Ya Tuhan, jangan bilang dka ingin menyatakan perasaannya padaku.
“Kau akan tahu nanti malam…”
***
Saga menunggu sambil mengawasi apartemen pencakar langit yang terletak di tengah kota tempatnya melihat Akai masuk bersama seorang lelaki. Saga tau, jam segini seharusnya Akai masih berada di sekolah, bukan di tempat seperti ini. Apa yang dia lakukan? Mungkin Tora terlalu sibuk untuk menyambung hidupnya dan kedua adiknya sedangkan Shou mungkin terlalu protektif sejak orantua mereka menghilang. Tapi, itu bukan alasan yang tepat untuk melakukan hal yang menyimpang.
Seragam Wendy’s tempatnya bekerja sambilan mash melekat di badan kurusnya. Kalau bukan karena perasaannya pada Akai, mungkin dia tidak akan repot-repot minginggalkan shiftnya hanya untuk mengintai berjam-jam seperti ini. Baginya, Akai sudah seperti adik perempuannya sendiri apalagi, dia anak satu-satunya. Tapi, perasaannya mungkin bisa salah…
***
“Bersembunyilah disitu, dan bernyanyilah ikutin aba-abaku…” kata Shou sambil menunjuk serumpun perdu di halaman rumah mungil ini.
“Baiklah,” kata Hiroki menurut sambil bertanya-tanya dalam hati, rumah siapakah ini? Tapi, apa pedulinya? Toh, tugansya hanya bernyanyi, tidak lebih. Lagipula, demi Shou…
hoshikuzu minamo ni ukabe
koko de wa nai doko ka e to
kogidasu tsuki no umi
nanbanchi ka wakaranai keredo
omoi, kogareteku…anata e
kimi no tameni ima naniga dekiru?
chiisana hikari datoshitatte
ima boku ga kanjiteiru youna
yasashi sa kimi ni mo agetaiyo
tadayou inochi no hoshi de
deai wa hitsuzen datta
wake nado mitsukaranai
kimi o aisuru kanjou ni wa
yuukyuu no toki koe…anata e
dakishimeta netsu wa samenai mama
hitomi ga kimi o motometeru
kaketa tsuki o tsunagi awaseruyo
kokoro ga hitotsu ni natte yuku
kanashii nara naite
ureshii nara emi wo hitori janai
arigatou…
kimi ga itakara aruite koreta
chiisana hikari dato shitatte
hanaretetemo shinjiteku koto no
tsuyosa o oshiete kureta ne
kanashiikara naite
ureshiikara emi o
onaji michi de zutto kanadete ikou

“Aku sayang kamuuu!!!!!!” teriak Shou.
“Aku juga…” kata Hiroki lirih saking shock dan bahagianya suaranya tiba-tiba menghilang.
“Aku mau kamu jadi milikku!!!”
“Aku….” Hiroki mendongak dan baru tersadar, dia tidak hanya berdua saja dengan Shou, tapi ada satu gadis lagi di depan mereka.
“I love you,” ulang Shou sambil menatap gadis itu mesra.
Hiroki ternganga, dia baru menyadari, betapa bodohnya dia. Kenapa dia bisa mengira Shou menyatakan itu untuknya? Bodoh! Perlahan, Hiroki memilih pergi dari situ tanpa menimbulkan suara.
“Semoga kau bahagia Shou-senpai…” katanya sambil menahan tangis.
***
Tora berjalan mondar-mandir di depan rumahnya dengan gusar. Ekspresinya saat itu benar-benar seperti macan yang siap mengamuk, menerkam siapa saja yang mengganggu. Baru kali ini, dia pulang malam dan mendapati rumahnya masih kosong tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu baik dari Akai ataupun Shou.
“Kemana mereka berdua?” gumam Tora geram sambil mencoba menghubungi kedua adiknya. Tapi hasilnya nihil. Mereka berdua tidak mengangkat telepon dari Tora. Wajar saja Tora was-was, hilangnya kedua orangtuanya menimbulkan trauma yang cukup parah apalagi, kedua adiknya sekarang menjadi tanggung jawabnya penuh.
“Tadaima…” gumam Shou lesu dengan muka sendu sambil membuka gerbang. “Ah, Tora-nii kau belum masuk?!”
“BAKA! KEMANA SAJA KALIAN SEHARIAN INI?!” bentak Tora penuh amarah.
“A… aku…”
“Mana Akai?”
Shou menatap Tora dengan tatapan heran sekaligus takut. “Bukannya dia sudah pulang?”
“PULANG KEMANA? RUMAH INI KOSONG!!!”
Shou menganga lalu menepuk jidatnya. “Mati aku…”
***
“Sudahlah… banyak pria di dunia ini,” kata Hiroto sambil mengulurkan tissue ke Hiroki yang menangis sesunggukan. “Sepertinya Amano bersaudara memang memiliki gen mematahkan hati bagi keluarga kita ya?”
“Jangan samakan aku denganmu Pon!” bentak Hiroki sambil memungut HP nya yang berbunyi.
“Siapa? Kenapa tak kau angkat?”
“Shou senpai, biarkan saja.”
Hiroto menggelengkan kepala sambil berdecak. Lalu merogoh sakunya mengambil HP nya yang berbunyi. “Ah, dia meneleponku juga rupanya…”
“Abaikan saja… ah, kenapa kau angkat pon!” seru Hiroki gemas, merasa saudara kembarnya tidak merasakan perasaan yang sama dengannya.
“Ah? Tidak. Aku tidak tahu. Kenapa? Oh, iya… baiklah…”
“Kenapa?”
“Kau ini… kau tidak mau mengangkat teleponnya, tetapi kau mau tau apa yang dia bicarakan,” ejek Hiroki sambil menghindar dari pukulan Hiroki.
“Aku serius!”
“Dis tanya, apa Akai disini. Dia belum pulang.”
“Akai?”
“Iya… aku tebak, mungkin saat ini dia sedang melarikan diri dengan si Masahito itu. Aku heran, apa sih yang dia lihat dari cowok berandal itu? Oke, dia memang sedikit lebih tampan dariku, giginya lebih rata dariku, dan dia lebih tinggi dariku, lebih kaya, lebih… oh shit! Oke, paling tidak aku lebih baik dan lebih pintar darinya, iya kan?”tanya Hiroto meminta dukungan.
“Bisa jadi…” gumam Hiroki mengambil hp nya. “Halo, aku mungkin tau dimana dia…”
***
Saga mengatur nafas sambil menguatkan tekadnya. Pintu itu tidak terlalu kuat untuk sekedar dibuka paksa dengan satu dua tendangan hasil latihan tae kwon do nya dari kecil. Masalahnya, snaggupkah dia menahan semua masalah yang timbul setelah itu?
Tapi… Saga sudah tidak bisa menahan kesabarannya setelah 10 jam menunggu diluar, apalagi, jam 11 malam adalah waktu yang terlalu larut bagi wanita di dalam apartemen pria tanpa melakukan apapun.
Terlebih lagi… ada sedikit rasa tidak rela…
“Yosh! Ganbatte Saga-kun! HIYAAAAAAA~~~”
BRUAK!!!
***

Bersambung

1 komentar:

  1. wewww, kerennnn akaiii... penasaran sama lanjutannya... walau masih banyak typo dimana-mana... hahaha... aku tunggu next part ya... :)

    BalasHapus