Bagaimana
jika manusia…
Ingin
menembus kefanaannya…
Menetapkan
keabadian bagi hidupnya…
Berusaha
menandingi…
Atau menjadi
Tuhan…
Bagi dunia…
***
Aku menendang kaleng kosong tak
berdosa itu sekuat tenaga, seolah itu cukup untuk melampiaskan semua
kekesalanku. Satu-satunya dosa kaleng itu, yang aku pikirkan untuk membenarkan tindakanku
adalah dia berada di depanku saat aku sedang kesal. Siapapun tahu, Ziel Kugyou
d’Arc tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi jalannya selamat saat dia
sedang kesal.
Bagaimana aku tidak kesal? Satu persatu
teman-temanku menghilang tanpa jejak dan polisi-polisi itu hanya memasukkan
kasus hilangnya mereka ke dalam sebuah dokumen tanpa ada tindakan lanjut hanya
karena mereka anak jalanan. Aku ingin tahu, apa mereka juga akan bertindak
seperti itu jika yang menghilang adalah aku?
“Okaeri nasai,” sapa Lyn sambil
tersenyum lebar menyambutku. “Kau… terlihat kurang bersemangat.”
Aku tersenyum tipis sambil
melemparkan jaketku ke Lyn. Kurang bersemangat? Hey, emosiku nyaris berada
dipuncak dan dalam fase seperti ini aku mampu melakukan apapun tanpa kehilangan
energy yang berarti yang artinya, semangatku sedang menggebu-gebu.
“Kau menyindir?”
Lyn tertawa sambil mengikutiku
naik ke kamar. “Aku cuma ingin memastikan, semangatmu tidak membahayakan
siapapun…lagi.”
Aku memutar bola mataku. “Ayolah,
kau kira aku siapa? Penjahat kambuhan?”
“Aku hanya melaksanakan tugasku.”
“Aku harap tugasmu tidak
mengurangi privasi ku, Lyn,” kataku jengah sambil membanting pintu sebelum dia
sempat mengikutiku masuk ke dalam kamar. Lama-lama, situasi di rumah ini
semakin tidak kondusif sejak kakakku pergi dari rumah. Si brengsek itu…
mengubah hidupku nyaris tiga ratus enam puluh derajat.
Aku membuka laptopku dan langsung
dibanjiri belasan e-mail dari perusahaan ayahku tentang berbagai keputusan yang
harus kuperhitungkan. Apa peduliku? Ini bukan jatahku, ini jatah Alex. Sekalipun
dia sudah pergi entah kemana, bukan berarti aku mau mengambil alih ini semua. Kan?
Ditambah kejadian semalam, dalam
lima bulan ini, sudah ada orang yang
menhilang secara misterius. Sebenarnya, ada sedikit kecurigaanku yang mengarah
ke ayahku. Aku tahu dia sangat benci dengan pergaulanku yang dinilai kurang
layak bagiku. Tapi, aku jauh lebih yakin, ayahku lebih memilih cara ‘aman’
seperti mengirim Lyn untuk mengawasiku daripada membunuh satu persatu
teman-temanku.
Membunuh.
Kata yang sangat pesimis
mengingat aku bahkan tidak tahu mereka masih hidup atau tidak. Bahkan, sampai
saat ini belum ada kabar penemuan mayat sama sekali.
Satu satunya petunjuk bagiku
hanyalah fakta bahwa mereka menghilang di waktu yang sama setiap bulan, sehari
sebelum bulan purnama tiba. Lalu?
***
Aku duduk diatas tumpukan
rongsokan sambil menahan dingin dengan cara mendekap tubuhku sendiri. Hari ini,
tepat sehari sebelum bulan purnama tiba, dan aku sudah memastikan semua
temanku, yang menurutku berpotensi menjadi korban, berada di dalam gudang di
depanku. Aman bukan?
Sebuah suara gemerisik membuatku
memasang sikap waspada sambil menajamkan pengelihatan kesegala arah. Siapapun
bisa bersembunyi dengan mudah di gunungan rongsokan seperti ini. Aku berdiri
dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara. Bulu kudukku berdiri saat kurasakan
ada tanda-tanda kehidupan di belakangku. Setankah? Atau…
“Hyaaaa!!!!”
“Kyaaaaa~~~”
Jeritan khas itu menghentikan
gerakan tanganku yang tadinya hendak memukulnya, siapapun atau apapun yang dibelakangku.
Lyn. Dia lagi.
“Kau! Kenapa...” aku terlalu
emosi untuk bisa melanjutkan kata-kataku. Aku, pria dewasa 20 tahun dan masih
dijaga oleh gadis 25 tahun kemana-mana. Apa kata dunia? Ini sudah keterlaluan.
“Harusnya aku yang bertanya
seperti itu, Zi!” kata Lyn dengan nada tenangnya yang khas.
“Bukan urusanmu!”
“Apapun yang berhubungan denganmu
adalah urusanku!” kata Lyn dengan tegas sambil menatapku. Oke, aku hargai
usahamu berusaha menundukkanku dengan menatapku seperti itu! Tapi percuma saja,
Lyn! “Apapun bisa terjadi padamu, dan akhirnya akulah yang akan terkena
imbasnya!”
“Kalau begitu, pulanglah dan
berhenti mengikutiku!” kataku geram sambil membalikkan badan sebelum semuanya
gelap…
***
Hawa panas membakar wajahku,
membuat kesadaranku pulih lagi. Didepan mataku, kobaran api yang sangat besar
melalap tanpa ampun bangunan yang tadinya berdiri tegak disana. Mereka… Aku
tiba-tiba teringat semua teman-temanku di dalam sana. Selamatkah mereka? Aku
ingin bangkit dan berlari memastikan mereka selamat atau paling tidak masih ada
yang bisa diselamatkan tapi sepertinya tubuhku menolak diajak bekerja sama.
“Terima kasih, kau memudahkan
pekerjaanku,” bisik sebuah suara yang sangat aku kenal sebelum kesadaranku
kembali menghilang.
***
Aku terbangun disebuah ruang kosong
berwarna putih bersih dengan tangan dan kaki terikat kuat. Sial! Siapa yang
berani melakukan ini padaku? Aku mencoba melepaskan diri dan berusaha
menghilangkan sedikit rasa panikku. Hasilnya? Bukannya terbuka, punggungku
terkelupas karena bergesekan langsung dengan tembok yang ternyata sangat tidak
rata di belakangku.
“Kau sudah sadar rupanya,” kata
seorang pria berjas putih sambil masuk diikuti seorang wanita yang membawa
nampan.
Aku menyipitkan mata, memastikan
pengelihatanku tidak salah.
“Matamu masih bisa bertambah
sipit lagi rupanya,” kata pria itu sambil tertawa mendengar leluconnya sendiri
yang sangat rasis dan tidak tahu diri mengingat matanya tidak lebih besar dari
mataku. “Kau kaget adik kecil?”
“Well… aku akan lebih kaget kalau
kau mau melepaskan ikatanku!” kataku geram. Dia sudah sangat keterlaluan. Satu,
dia membuatku dihujan proker perusahaan oleh ayah yang seharusnya menjadi
tanggung jawabnya. Dua, dia mengikatku seolah aku pasien rabies yang bisa kumat
kapan saja. Tiga, dia… mungkin membunuh teman-temanku. Empat, karna dia kakakku…
Alex.
Alex menggelengkan kepala sambil
tertawa geli. “Tidak sebelum kau menyelesaikan ini semua, adik kecilku,”
katanya sambil member tanda agar Lyn mendekat dan menyerahkan gelas berisi
cairan berwarna merah itu.
“Berhenti memanggilku seperti
itu! Dan… umph… gluk…” aku menghentikan kata-kataku dengan terpaksa karena
tetes demi tetes cairan asin itu masuk kedalam tenggorokanku. “Brengsek kau! Apa
ini?!”
“Kau tidak bertambah pintar
rupanya,” gumamnya sambil berdecak heran, menggelengkan kepalanya. “Dari
rasanya, harusnya kau sadar… ini kan darah pacarmu, siapa namanya?”
“Alicia,” kata Lyn mengingatkan.
“Jangan dimuntahkan! Atau aku
terpaksa mencekokimu langsung dari mayatnya!” ancam Alex dengan tatapan sadis
sebelum meninggalkan ruangan. “Tunggu sebentar.”
“KAU!!!” aku terlalu marah untuk
bisa berkata-kata lagi.
“Lebih baik kau hemat tenaga mu,
Zi,” kata Lyn sebelum mengikuti Alex keluar.
“Penghianat kau!” umpatku marah.
Sial! Aku… bodoh! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bahkan untuk
membersihkan noda darah yang menetes dari daguku pun aku tidak bisa. Sialan!
***
Punggungku terasa panas sepert
terbakar. Ketika aku tersadar, aku berada di tengah-tengah tanda bintang yang
digoreskan ke lantai dengan darah. Di setiap sudut, berdiri orang-orang yang
mengenakan tudung berwarna hitam tengah merapalkan sesuatu seperti sebuah
mantra. Bersamaan dengan semakin kencang ritme dan suara mereka, punggungku
terasa semakin panas.
Salah satu dari mereka
menyodorkan sebuah tangan manusia ke arahku. Alexis. Aku masih ingat tattoo naga
yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Makan ini,” kata suara dingin
nyaris tak berekspresi itu sambil terus menyodorkan tangan Alexis ke mulutku.
Kau gila? Kau menyuruhku memakan
tangan sahabatku sendiri?! Dan sayangnya… entah bagaimana, tubuhku sepertinya
menolak perintahku dan malah menuruti perintah mereka. Sedikit demi sedikit,
aku merasakan gigiku menancap kuat di kulitnya, mengoyaknya, mengunyahnya
lembut sebelum dagingnya masuk kedalam kerongkonganku. Ini diluar kendaliku.
Setelah ia mundur, salah satu
yang lainnya maju, menarik rambutku hingga kepalaku mendongak dan aku nyaris
bisa menatap wajahnya seandainya saja ruangan ini terang benderang.
“Buka matamu,” perintahnya dengan
nada sama persis dengan orang yang pertama.
Bodoh! Kenapa kau buka matamu
lebar-lebar Ziel! Kenapa kau turuti perintah mereka? Aku marah pada diriku
sendiri yang menolak untuk ku kendalikan. Apa maunya tubuhku?
Dengan satu gerakan cepat, ornag
itu merobek kelopak mataku dan menarik bola mata kiriku keluar. Darah segar
mengalir perlahan dari mataku, membentuk sebuah genangan dramatis mengisi salah
satu sisi kosong di dalam lingkaran dan diluar bintang itu.
Aku ingin berteriak… tapi
lagi-lagi tubuhku menolak perintahku. Dengan sedikit paksaan, ia memasang
sebuah bola mata yang lainnya, bukan milikku, ke dalam rongga mata kiriku.
Kapan ini akan berakhir? Kapan?
Orang ketiga menuju perapian,
mengambil sebuah cap dari baja yang tampak merah membara sebelum berjalan ke
arahku seperti dua orang sebelumnya. Sambil menggumamkan sebuah, mungkin,
mantera ia menekan besi itu ke dadaku, menimbulkan kepulan asap dan menyisakan
sebuah tanda berupa luka bakar yang membentuk sebuah symbol di dadaku.
Orang keempat sedikit lebih
manusiawi, dia mengambil belati dari dalam kantong jubahnya. Belati putih
bersih dengan ukiran rumit di gagangnya. Seperti orang-orang sebelumnya, ia
menancapkan belati itu ke dadaku sambil merapalkan mantera. Ia menarik lagi
belati itu dan memintaku menjilat darahku sendiri sebelum meletakkannya di
salah satu sisi kosong di dalam lingkaran itu.
“Bangkitlah dari kegelapan abadi,
ambillah kami, para pengikut setiamu menuju keabadian suci. Bangkitlah, tuanku…”
ujar orang kellima sambil membakar lingkaran yang mengelilingi bintang
tersebut. Aku sudah tidak bisa mendengar kata-kata lanjutannya lagi, sedikit
demi sedikit semua inderaku sepertinya mulai mati. Jadi seperti ini rasanya mau
mati?
Aku masih bisa melihat sekilas
kelima orang yang mulai membuka tudungnya satu persatu. Alex, yang menatapku
dengan tatapan kosong. Dia… sudah bukan abangku yang dulu lagi. Dia…
Salah satu dari mereka melakukan
gerakan aneh, sebelum akhirnya terdengar suara ledakan yang sangat keras. Panas…
dan gelap…
***
Aku menatap bayangan diriku di
cermin. Mataku yang dulu berwarna biru gelap, kini berbeda warna satu sama
lain. Warna mata Alex. Tubuhku yang dulu mati-matian aku jaga kemulusannya,
kini berhias symbol-symbol aneh yang melekat secara permanen, membuatku tampak
seperti seorang anggota sekte terlarang.
Sekte terlarang… kata itu
mengingatkanku pada dua bulan lalu…
“Semua arsip yang perlu kau tanda tangani
sudah siap. Cepat mandi karena sebentar lagi kita akan bertemu klien. Bajumu sudah
aku siapkan di dalam kamar mandi dan… berhenti memasang tampang bodoh seperti
itu, pemalas!” kata Lyn sambil menjewer telingaku dan menggiringku masuk ke
kamar mandi.
“Aww… kau… telingaku bisa copot!”
kataku berusaha melepaskan jewerannya. Dia jadi semakin galak sejak kejadian
itu. Tapi, aku akui, tindakan heroiknya dan pasukannya membuatku harus
berterima kasih. Walaupun dia menipuku selama ini. Dia bukan wanita biasa, dia
anggota Interpol yang memang bertugas menangani kasus ini. Sial.
“Ah iya, mungkin tidak penting
sih, tapi aku kira kau harus tahu,” kata Lyn tiba-tiba sebelum aku masuk kamar
mandi. “Aku keluar dari Interpol.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
Lyn tersenyum misterius sambil
menendangku masuk kamar mandi. “Waktu adalah uang! Dan kalau kau masih
menyia-nyiakan waktumu dnegan bengong seperti itu aku akan melaporkan pada
ayahmu agar uang mu distop!”
***