Jumat, 22 Juni 2012

untitle


Bagaimana jika manusia…
Ingin menembus kefanaannya…
Menetapkan keabadian bagi hidupnya…
Berusaha menandingi…
Atau menjadi Tuhan…
Bagi dunia…
***
Aku menendang kaleng kosong tak berdosa itu sekuat tenaga, seolah itu cukup untuk melampiaskan semua kekesalanku. Satu-satunya dosa kaleng itu, yang aku pikirkan untuk membenarkan tindakanku adalah dia berada di depanku saat aku sedang kesal. Siapapun tahu, Ziel Kugyou d’Arc tidak akan membiarkan apapun yang menghalangi jalannya selamat saat dia sedang kesal.
Bagaimana aku tidak kesal? Satu persatu teman-temanku menghilang tanpa jejak dan polisi-polisi itu hanya memasukkan kasus hilangnya mereka ke dalam sebuah dokumen tanpa ada tindakan lanjut hanya karena mereka anak jalanan. Aku ingin tahu, apa mereka juga akan bertindak seperti itu jika yang menghilang adalah aku?
“Okaeri nasai,” sapa Lyn sambil tersenyum lebar menyambutku. “Kau… terlihat kurang bersemangat.”
Aku tersenyum tipis sambil melemparkan jaketku ke Lyn. Kurang bersemangat? Hey, emosiku nyaris berada dipuncak dan dalam fase seperti ini aku mampu melakukan apapun tanpa kehilangan energy yang berarti yang artinya, semangatku sedang menggebu-gebu.
“Kau menyindir?”
Lyn tertawa sambil mengikutiku naik ke kamar. “Aku cuma ingin memastikan, semangatmu tidak membahayakan siapapun…lagi.”
Aku memutar bola mataku. “Ayolah, kau kira aku siapa? Penjahat kambuhan?”
“Aku hanya melaksanakan tugasku.”
“Aku harap tugasmu tidak mengurangi privasi ku, Lyn,” kataku jengah sambil membanting pintu sebelum dia sempat mengikutiku masuk ke dalam kamar. Lama-lama, situasi di rumah ini semakin tidak kondusif sejak kakakku pergi dari rumah. Si brengsek itu… mengubah hidupku nyaris tiga ratus enam puluh derajat.
Aku membuka laptopku dan langsung dibanjiri belasan e-mail dari perusahaan ayahku tentang berbagai keputusan yang harus kuperhitungkan. Apa peduliku? Ini bukan jatahku, ini jatah Alex. Sekalipun dia sudah pergi entah kemana, bukan berarti aku mau mengambil alih ini semua. Kan?
Ditambah kejadian semalam, dalam lima bulan ini, sudah ada  orang yang menhilang secara misterius. Sebenarnya, ada sedikit kecurigaanku yang mengarah ke ayahku. Aku tahu dia sangat benci dengan pergaulanku yang dinilai kurang layak bagiku. Tapi, aku jauh lebih yakin, ayahku lebih memilih cara ‘aman’ seperti mengirim Lyn untuk mengawasiku daripada membunuh satu persatu teman-temanku.
Membunuh.
Kata yang sangat pesimis mengingat aku bahkan tidak tahu mereka masih hidup atau tidak. Bahkan, sampai saat ini belum ada kabar penemuan mayat sama sekali.
Satu satunya petunjuk bagiku hanyalah fakta bahwa mereka menghilang di waktu yang sama setiap bulan, sehari sebelum bulan purnama tiba. Lalu?
***
Aku duduk diatas tumpukan rongsokan sambil menahan dingin dengan cara mendekap tubuhku sendiri. Hari ini, tepat sehari sebelum bulan purnama tiba, dan aku sudah memastikan semua temanku, yang menurutku berpotensi menjadi korban, berada di dalam gudang di depanku. Aman bukan?
Sebuah suara gemerisik membuatku memasang sikap waspada sambil menajamkan pengelihatan kesegala arah. Siapapun bisa bersembunyi dengan mudah di gunungan rongsokan seperti ini. Aku berdiri dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara. Bulu kudukku berdiri saat kurasakan ada tanda-tanda kehidupan di belakangku. Setankah? Atau…
“Hyaaaa!!!!”
“Kyaaaaa~~~”
Jeritan khas itu menghentikan gerakan tanganku yang tadinya hendak memukulnya, siapapun atau apapun yang dibelakangku. Lyn. Dia lagi.
“Kau! Kenapa...” aku terlalu emosi untuk bisa melanjutkan kata-kataku. Aku, pria dewasa 20 tahun dan masih dijaga oleh gadis 25 tahun kemana-mana. Apa kata dunia? Ini sudah keterlaluan.
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Zi!” kata Lyn dengan nada tenangnya yang khas.
“Bukan urusanmu!”
“Apapun yang berhubungan denganmu adalah urusanku!” kata Lyn dengan tegas sambil menatapku. Oke, aku hargai usahamu berusaha menundukkanku dengan menatapku seperti itu! Tapi percuma saja, Lyn! “Apapun bisa terjadi padamu, dan akhirnya akulah yang akan terkena imbasnya!”
“Kalau begitu, pulanglah dan berhenti mengikutiku!” kataku geram sambil membalikkan badan sebelum semuanya gelap…
***
Hawa panas membakar wajahku, membuat kesadaranku pulih lagi. Didepan mataku, kobaran api yang sangat besar melalap tanpa ampun bangunan yang tadinya berdiri tegak disana. Mereka… Aku tiba-tiba teringat semua teman-temanku di dalam sana. Selamatkah mereka? Aku ingin bangkit dan berlari memastikan mereka selamat atau paling tidak masih ada yang bisa diselamatkan tapi sepertinya tubuhku menolak diajak bekerja sama.
“Terima kasih, kau memudahkan pekerjaanku,” bisik sebuah suara yang sangat aku kenal sebelum kesadaranku kembali menghilang.
***
Aku terbangun disebuah ruang kosong berwarna putih bersih dengan tangan dan kaki terikat kuat. Sial! Siapa yang berani melakukan ini padaku? Aku mencoba melepaskan diri dan berusaha menghilangkan sedikit rasa panikku. Hasilnya? Bukannya terbuka, punggungku terkelupas karena bergesekan langsung dengan tembok yang ternyata sangat tidak rata di belakangku.
“Kau sudah sadar rupanya,” kata seorang pria berjas putih sambil masuk diikuti seorang wanita yang membawa nampan.
Aku menyipitkan mata, memastikan pengelihatanku tidak salah.
“Matamu masih bisa bertambah sipit lagi rupanya,” kata pria itu sambil tertawa mendengar leluconnya sendiri yang sangat rasis dan tidak tahu diri mengingat matanya tidak lebih besar dari mataku. “Kau kaget adik kecil?”
“Well… aku akan lebih kaget kalau kau mau melepaskan ikatanku!” kataku geram. Dia sudah sangat keterlaluan. Satu, dia membuatku dihujan proker perusahaan oleh ayah yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Dua, dia mengikatku seolah aku pasien rabies yang bisa kumat kapan saja. Tiga, dia… mungkin membunuh teman-temanku. Empat, karna dia kakakku… Alex.
Alex menggelengkan kepala sambil tertawa geli. “Tidak sebelum kau menyelesaikan ini semua, adik kecilku,” katanya sambil member tanda agar Lyn mendekat dan menyerahkan gelas berisi cairan berwarna merah itu.
“Berhenti memanggilku seperti itu! Dan… umph… gluk…” aku menghentikan kata-kataku dengan terpaksa karena tetes demi tetes cairan asin itu masuk kedalam tenggorokanku. “Brengsek kau! Apa ini?!”
“Kau tidak bertambah pintar rupanya,” gumamnya sambil berdecak heran, menggelengkan kepalanya. “Dari rasanya, harusnya kau sadar… ini kan darah pacarmu, siapa namanya?”
“Alicia,” kata Lyn mengingatkan.
“Jangan dimuntahkan! Atau aku terpaksa mencekokimu langsung dari mayatnya!” ancam Alex dengan tatapan sadis sebelum meninggalkan ruangan. “Tunggu sebentar.”
“KAU!!!” aku terlalu marah untuk bisa berkata-kata lagi.
“Lebih baik kau hemat tenaga mu, Zi,” kata Lyn sebelum mengikuti Alex keluar.
“Penghianat kau!” umpatku marah. Sial! Aku… bodoh! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bahkan untuk membersihkan noda darah yang menetes dari daguku pun aku tidak bisa. Sialan!
***
Punggungku terasa panas sepert terbakar. Ketika aku tersadar, aku berada di tengah-tengah tanda bintang yang digoreskan ke lantai dengan darah. Di setiap sudut, berdiri orang-orang yang mengenakan tudung berwarna hitam tengah merapalkan sesuatu seperti sebuah mantra. Bersamaan dengan semakin kencang ritme dan suara mereka, punggungku terasa semakin panas.
Salah satu dari mereka menyodorkan sebuah tangan manusia ke arahku. Alexis. Aku masih ingat tattoo naga yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Makan ini,” kata suara dingin nyaris tak berekspresi itu sambil terus menyodorkan tangan Alexis ke mulutku.
Kau gila? Kau menyuruhku memakan tangan sahabatku sendiri?! Dan sayangnya… entah bagaimana, tubuhku sepertinya menolak perintahku dan malah menuruti perintah mereka. Sedikit demi sedikit, aku merasakan gigiku menancap kuat di kulitnya, mengoyaknya, mengunyahnya lembut sebelum dagingnya masuk kedalam kerongkonganku. Ini diluar kendaliku.
Setelah ia mundur, salah satu yang lainnya maju, menarik rambutku hingga kepalaku mendongak dan aku nyaris bisa menatap wajahnya seandainya saja ruangan ini terang benderang.
“Buka matamu,” perintahnya dengan nada sama persis dengan orang yang pertama.
Bodoh! Kenapa kau buka matamu lebar-lebar Ziel! Kenapa kau turuti perintah mereka? Aku marah pada diriku sendiri yang menolak untuk ku kendalikan. Apa maunya tubuhku?
Dengan satu gerakan cepat, ornag itu merobek kelopak mataku dan menarik bola mata kiriku keluar. Darah segar mengalir perlahan dari mataku, membentuk sebuah genangan dramatis mengisi salah satu sisi kosong di dalam lingkaran dan diluar bintang itu.
Aku ingin berteriak… tapi lagi-lagi tubuhku menolak perintahku. Dengan sedikit paksaan, ia memasang sebuah bola mata yang lainnya, bukan milikku, ke dalam rongga mata kiriku.
Kapan ini akan berakhir? Kapan?
Orang ketiga menuju perapian, mengambil sebuah cap dari baja yang tampak merah membara sebelum berjalan ke arahku seperti dua orang sebelumnya. Sambil menggumamkan sebuah, mungkin, mantera ia menekan besi itu ke dadaku, menimbulkan kepulan asap dan menyisakan sebuah tanda berupa luka bakar yang membentuk sebuah symbol di dadaku.
Orang keempat sedikit lebih manusiawi, dia mengambil belati dari dalam kantong jubahnya. Belati putih bersih dengan ukiran rumit di gagangnya. Seperti orang-orang sebelumnya, ia menancapkan belati itu ke dadaku sambil merapalkan mantera. Ia menarik lagi belati itu dan memintaku menjilat darahku sendiri sebelum meletakkannya di salah satu sisi kosong di dalam lingkaran itu.
“Bangkitlah dari kegelapan abadi, ambillah kami, para pengikut setiamu menuju keabadian suci. Bangkitlah, tuanku…” ujar orang kellima sambil membakar lingkaran yang mengelilingi bintang tersebut. Aku sudah tidak bisa mendengar kata-kata lanjutannya lagi, sedikit demi sedikit semua inderaku sepertinya mulai mati. Jadi seperti ini rasanya mau mati?
Aku masih bisa melihat sekilas kelima orang yang mulai membuka tudungnya satu persatu. Alex, yang menatapku dengan tatapan kosong. Dia… sudah bukan abangku yang dulu lagi. Dia…
Salah satu dari mereka melakukan gerakan aneh, sebelum akhirnya terdengar suara ledakan yang sangat keras. Panas… dan gelap…
***
Aku menatap bayangan diriku di cermin. Mataku yang dulu berwarna biru gelap, kini berbeda warna satu sama lain. Warna mata Alex. Tubuhku yang dulu mati-matian aku jaga kemulusannya, kini berhias symbol-symbol aneh yang melekat secara permanen, membuatku tampak seperti seorang anggota sekte terlarang.
Sekte terlarang… kata itu mengingatkanku pada dua bulan lalu…
 “Semua arsip yang perlu kau tanda tangani sudah siap. Cepat mandi karena sebentar lagi kita akan bertemu klien. Bajumu sudah aku siapkan di dalam kamar mandi dan… berhenti memasang tampang bodoh seperti itu, pemalas!” kata Lyn sambil menjewer telingaku dan menggiringku masuk ke kamar mandi.
“Aww… kau… telingaku bisa copot!” kataku berusaha melepaskan jewerannya. Dia jadi semakin galak sejak kejadian itu. Tapi, aku akui, tindakan heroiknya dan pasukannya membuatku harus berterima kasih. Walaupun dia menipuku selama ini. Dia bukan wanita biasa, dia anggota Interpol yang memang bertugas menangani kasus ini. Sial.
“Ah iya, mungkin tidak penting sih, tapi aku kira kau harus tahu,” kata Lyn tiba-tiba sebelum aku masuk kamar mandi. “Aku keluar dari Interpol.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
Lyn tersenyum misterius sambil menendangku masuk kamar mandi. “Waktu adalah uang! Dan kalau kau masih menyia-nyiakan waktumu dnegan bengong seperti itu aku akan melaporkan pada ayahmu agar uang mu distop!”
***

lama ngga nulis, ternyata hasilnya aneh ya TT____TT

Jumat, 15 Juni 2012

Jangan lahir rapat-rapat, jangan hamil cepat-cepat *lho?*

Gw nulis judul diatas, gara-gara tiba-tiba inget iklan KB nya Shiren Sungkar tapi versi si Gunyu... jangan lahir rapat-rapat, jangan hamil cepat-cepat... Gw paham sih, kalo lahir cepat-cepat emang ngga boleh, tapi hamil rapat-rapat? Bisa gitu?



Dalam sebuah perbincangan hangat gw bareng sama temen-temen satu mentor gw, gw pernah cerita soal rencana hidup. Gw harus lulus tepat waktu, trus gw pengen nikah umur 22 tahun. Gw pengen punya anak banyak, makanya gw pengen nikah muda. Dan mereka bilang, pikiran gw terlalu jauh... udah mikir soal nikah.

Iya kah? Kalo aku mikir, malah ngga lho... Lah, boro-boro yang gw yang udah 18 taun, lah gw pernah bareng sama anak 2 anak SD cewe sama cowo... jadi gini..ceritanya,

cewe: Pah, BB mu ganti lagi ya?

gw: *masi ngga ngeh... emang gw peduli gitu sama obrolan anak SD*

cowo: ngga Ma... BB papa ngga ganti kok,,, ini punya ayah soalnya BB papa lagi rusak..

gw: *mulai mikir apa yang aneh*

dan kedua anak SD yang kayaknya kalo menurut prediksi gw sekitar kelas 3 SD, duduk berdampingan, gandengan tangan dan saling manggil papa-mama. WUOOOOO~~ gw langsung pengen teriak, "DUNIA TIDAK ADIILLL!!!"  gw yang udah kuliah aja ga punya pacar (waktu itu), ga punya BB dan ga pernah gandengan tangan semesra itu... gyaaaaa~~

Jadi, gw kira, gw ngga mikir terlalu jauh kan kalo gw udah bikin plan sampe ke jenjang pernikahan, punya anak, punya cucu dsb... iya kan?

Ngomong-ngomong soal fenomena nikah muda, gw jadi penasaran, faktor apa sih yang bikin orang pengen nikah muda?

Dulu, gw sekolah di SMP yang tempatnya super pelosooookkk~ dan sangat mewah (mepet sawah). Disitu, sebenernya banyak siswa yang berpotensi dan cerdasnya luar biasa. Sayangnya, kondisi sosial dimana mereka tinggal kayaknya menomor sekiankan soal pendidikan. Jadi, banyak temen gw, yang cerdas itu, pendidikannya cuma sebatas SMP ato kurang dari itu. (Makanya, SMP gw berasa kayak SMK soalnya udah ada pembekalan kayak masak, service elektronik, TIK). Begitu ngga sekolah biasanya mereka langsung kerja, entah merantau ke kota atau tetep disitu kerja dipasar. Kalo udah gitu, biasanya... merek ajuga bakal nikah muda (terutama yang cewek). Makanya, gw belum lulus SMA, ponakan gw udah banyaaaak dari temen-temen gw. Sial.

Begitu gw SMA, SMA gw ada ditempat yang lumayan lah ya.. Ngga pelosok banget. Salah satu SMA favorit juga. Nah, kalo yang disini, sekalinya ada yang nikah muda, biasanya gara-gara kebobolan duluan. Tapi jumlahnya ngga sedramatis temen-temen gw SMP yang nikah gara-gara alasan yang pertama tadi. Mungkin, nikah muda gara-gara kebobolah emang salah banget. Tapi gw tetep salut sama temen gw itu. Soalnya, menurut gw, mereka yang 'bener' diantara yang salah. Banyak temen gw yang udah pernah melakukan "itu", hamil, trus aborsi. Jadi, bagi gw, temen gw yang kebobolan trus nikah, paling ngga dia (dan pasangannya) lebih bertanggung jawab daripada temen gw yang ngga nikah. Toh?

Dan begitu gw kuliah, tempat gw kuliah lebih kota lagi dan lebih favorit lagi (ah...kualitas pendidikan gw meningkat rupanya)... temen-temen gw adalah type orang yang "Gw ngga mau nikah, soalnya ngerepotin." atau yang "Gw mau nikah umur 30 an dah paling ngga." atau "Kerja... kerja... kaya...kaya... nikah mah, ntar aja."

Jadi, gw mikir, faktornya, ekonomi, pendidikan, pergaulan, masyarakat dan... pola pikir.

Gw ada di nilai menengah sampe menengah keatas dari semua faktor yang gw sebutin diatas. Tapi, tetep aja gw pengen nikah muda. Kenapa? Soalnya, kalo misalnya, gw kelamaan pacaran (bukan berarti lama gw pacaran sama satu orang, tapi lama gw punya kesempatan pacaran), dosa gw bakal makin banyaaak. Nak, kalo gw nikah muda, palling ngga... gw bisa menyalurkan kemesuman gw tanpa dosa *plakkk*.

Gw jadi inget, temen deket gw ada yang baru aja nikah. Ada juga yang baru mau nikah. Gw seneng sih, tapi gw juga sedih... kalo mereka nikah, lah, trus gw maen sama siapaaa? Tapi gapapa sih, asalkan mereka bahagia aja :3

Gw jadi pengen bilang ke Yuki, "Sayang, ayo kita nikaaaaaahhh~" tapi gw sama dia masi sama-sama kuliah~ lagian, kalo gw pikir-pikir lagi, apa gw siap nikah muda? Apa gw yakin sama pilihan gw kelak, siapapun itu? Apa gw siap buat kehilangan temen-temen maen gw yang pasti gw yakin bakal ada jarak segedhe bagong diantara gw sama temen-temen gw begitu kita berkeluarga nanti. Ga ada lagi fanservice-an.

Gw baru 18 tahun, dan gw punya waktu 3 tahun, sebelum umur gw 22 tahun, kaya target gw... gw punya 3 tahun buat mikir, dan nyari jodoh gw (kalo misalnya aku ga jodoh sama kamu, Yu~ tapi mudah-mudahan sih jodoh), dan mempertimbangkan lagi.

Inti dari post ini adalah, hweee~~jangan pada nikah muda dongg~~gw ntar maen sama siapa ini TT___TT
*egois.co.jp*

Gimana pendapat kalian? :3

Jumat, 01 Juni 2012

voice


Hiroki menepuk-nepuk roknya mengikuti irama lagu yang mengalun dari ipod nya sambil mengikuti Hiroto menuju ruang music di rumah Amano bersaudara. Rumah ini tampak cukup terawat mengingat hanya ada Tora, Shou dan adik mereka, Akai di rumah ini sejak kedua orang tua mereka menghilang dua tahun yang lalu.
“Kai, kau ikut latihan? Tumben…” sapa Hiroki sambil duduk di sebelah Akai.
“Dia sedang dihukum…” jelas Shou sambil menepuk-nepuk mic nya.
“Biarkan aku di kamarku!” kata Akai merajuk sambil menatap kakaknya yang lain, Tora, meminta dukungan. “Aku… mau belajar.”
Shou menggeleng tegas. “Kalau kau dibiarkan lepas sedikit saja dari pandangan, kau pasti kabur dengan si Masahito itu!” kata Shou sambil menyerahkan mic ke Hiroki. “Dan lagipula, sejak kapan kau belajar?” sindir Shou tajam. “Ayo mulai latihannya.”
Hiroki menatap Akai dengan pandangan maaf-ya-aku-tidak-bisa-berbuat-apapun-tapi-semangat-lah sebelum akhirnya perhatiannya teralih ke kertas yang berisi lirik lagu yang mereka mainkan dan… Shou. Dari sekian banyak hal, mungkin hanya Shou lah satu-satunya alasan yang membuatnya cukup bangga dengan suaranya yang sepert pria. Tapi, tak apalah… selama itu bisa membantu Shou.
Hiroki ingat, tiga tahun lalu, ketika dia masih duduk di kelas 2 SMP…
“Ini rumahnya?” tanya Hiroki pada saudara kembarnya, Hiroto, sambil menatap rumah yang cukup besar itu.
Hiroto mengangguk. “Kau yang serahkan,” katanya sambil menyorongkan bungkusan besar berbentuk hati pada Hiroki.
“Kenapa aku?”
“Karena aku malu…”
“Tapi kau pria! Lagipula, untuk apa kau malu pada kohaimu sendiri?”
“Aku takut dia menolakku…”
“Kau kembaranku dan kau hebat, dia pasti suka,” kata Hiroki walaupun dia kurang yakin bukan karena Hiroto jelek atau bagaimana, tapi karena Hiroki bahkan belum pernah bertemu dengan gadis yang sedang menjadi pujaan hati kembarannya sekalipun Hiroto hampir selalu menyebut nama Akai disetiap pembicaraan.
“Tapi…”
“Maju atau aku tinggal pulang!”
“Eeeehhhhh!!!”
“Err… Hiro-senpai? Sedang apa disitu?” sapa seorang gadis dibelakang mereka. Gadis dan pria disebelahnya tampak menenteng banyak belanjaan.
“A… A…” Hiroto tergagap sambil menyikut Hiroki untuk membantunya, tetapi Hiroki terlalu terpana dengan pria disebelah Akai.
“Mabushiii…” gumam Hiroki memberi komentar.
“Ah, ini pasti Hiroki-senpai? Yak an?” tanya Akai sambil menyapa Hiroki. “Ah, iya, Hiro-senpai, ini kakakku… Shou… ayo masuk, lebih baik kalian berdua berdebat di dalam saja daripada disini.”ujar Akai sambil menyeringai.
Hiroki ingat, saat itu juga pertemuan pertamanya dengan Tora, Saga dan Nao. Hingga akhirnya, mereka bisa membentuk band dengan Hiroki sebagai vokalisnya. Tetapi, suara Hiroki yang sangat mirip pria menjadi sumber masalah mereka hingga akhirnya… Shou lah yang ditunjuk menjadi vokalis sekalipun suara Shou nyaris tidak terdengar karena radang tenggorokan yang pernah dia derita sewaktu kecil. Jalan terakhir yang diambil… lip sync.
***
Masahito Byou meniup tengkuk Hiroki yang tengah berdiri di depan pintu kelas sambil menunggu Hiroto kembali dari kantin. Datang bulan membuatnya merasa mudah lelah bahakan untuk sekedar berjalan ke kantin membeli makan siang.
“Bilang pada saudaramu, aku pamit pulang. Kalau ada sensei yang bertanya bilang saja aku sakit,” kata Byou sambil membenarkan letak tasnya.
Hiroki mengangkat sebelah alisnya. “Kau bahkan tampak sangat sehat. Mau kemana kau?”
Byou mengerling misterius. “Sakit cinta dan bukan urusanmu aku mau kemana, tugasmu cukup bilang pesanku ke bapak ketua kelas kita. Oke? Jya neee.”
“Aku bukan babumu!” seru Hiroki sebal sambil menatap punggung Byou yang mulai menjauh.
***
Akai melirik ke jam dinding kamar Byou, perasaan bersalah dan tidak enak mulai berkecamuk di dalam hatinya. Salahkah semua yang dia lakukan ini? Kedua kakaknya mungkin akan mengamuk kalau tau… apa lagi shou-nii.
“Kenapa kau sayang? Ada yang kau pikirkan?” tanya Byou sambil mencium leher Akai dan menggengdongnya ke pangkuan.
Akai menggeleng perlahan.
“Kau tau… aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya,” kata Byou lalau mencium bibir Akai. “Bibirmu lembut…”
Akai tersenyum sambil menjatuhkan kepalanya ke pundah Byou, membiarkan tangan hangat Byou mendekapnya lebih erat.
“Aku ingin kita bisa bersatu…” gumam Byou memejamkan mata. “Mereka tidak berhak melarang cinta kita…”
“Aku tau…”
“Aku sayang kamu…”
“Aku juga…”
“Maukah kau denganku terus?”
“Ya…”gumam Akai sebelum dia merasakan sentuhan dingin menusuk perutnya.
“Kita akan bersatu… dikehidupan setelah ini sayang…”
***
“Hiroki! Ah, aku mencarimu kemana-mana…” kata Shou sambil menghampiri Hiroki dengan wajah sumringah. “Aku butuh waktumu sebentar…”
“Ah, aku pulang dulu kalau gitu,” kata Hiroto sambil mengerling gaje ke arah saudara kembarnya. “Semoga beruntung,” bisik Hiroto sambil tersenyum penuh arti. Paling tidak, bila hubungan Hiroki dengan Shou berhasil, itu cukup untuk menutupi kegagalan Hiroto mendapatkan Akai dulu.
“Kenapa Shou senpai?” tanya Hiroki berusaha keras menghilangkan persaan groginya.
“Aku ingin mengajakmu kesuatu tempat dan kau harus menyanyikan lagu ini untukku,” kata Shou sambil menyerahkan lirik lagu 4U ke Hiroki.
“A… aku? Buat apa?” tanya Hiroki. Ya Tuhan, jangan bilang dka ingin menyatakan perasaannya padaku.
“Kau akan tahu nanti malam…”
***
Saga menunggu sambil mengawasi apartemen pencakar langit yang terletak di tengah kota tempatnya melihat Akai masuk bersama seorang lelaki. Saga tau, jam segini seharusnya Akai masih berada di sekolah, bukan di tempat seperti ini. Apa yang dia lakukan? Mungkin Tora terlalu sibuk untuk menyambung hidupnya dan kedua adiknya sedangkan Shou mungkin terlalu protektif sejak orantua mereka menghilang. Tapi, itu bukan alasan yang tepat untuk melakukan hal yang menyimpang.
Seragam Wendy’s tempatnya bekerja sambilan mash melekat di badan kurusnya. Kalau bukan karena perasaannya pada Akai, mungkin dia tidak akan repot-repot minginggalkan shiftnya hanya untuk mengintai berjam-jam seperti ini. Baginya, Akai sudah seperti adik perempuannya sendiri apalagi, dia anak satu-satunya. Tapi, perasaannya mungkin bisa salah…
***
“Bersembunyilah disitu, dan bernyanyilah ikutin aba-abaku…” kata Shou sambil menunjuk serumpun perdu di halaman rumah mungil ini.
“Baiklah,” kata Hiroki menurut sambil bertanya-tanya dalam hati, rumah siapakah ini? Tapi, apa pedulinya? Toh, tugansya hanya bernyanyi, tidak lebih. Lagipula, demi Shou…
hoshikuzu minamo ni ukabe
koko de wa nai doko ka e to
kogidasu tsuki no umi
nanbanchi ka wakaranai keredo
omoi, kogareteku…anata e
kimi no tameni ima naniga dekiru?
chiisana hikari datoshitatte
ima boku ga kanjiteiru youna
yasashi sa kimi ni mo agetaiyo
tadayou inochi no hoshi de
deai wa hitsuzen datta
wake nado mitsukaranai
kimi o aisuru kanjou ni wa
yuukyuu no toki koe…anata e
dakishimeta netsu wa samenai mama
hitomi ga kimi o motometeru
kaketa tsuki o tsunagi awaseruyo
kokoro ga hitotsu ni natte yuku
kanashii nara naite
ureshii nara emi wo hitori janai
arigatou…
kimi ga itakara aruite koreta
chiisana hikari dato shitatte
hanaretetemo shinjiteku koto no
tsuyosa o oshiete kureta ne
kanashiikara naite
ureshiikara emi o
onaji michi de zutto kanadete ikou

“Aku sayang kamuuu!!!!!!” teriak Shou.
“Aku juga…” kata Hiroki lirih saking shock dan bahagianya suaranya tiba-tiba menghilang.
“Aku mau kamu jadi milikku!!!”
“Aku….” Hiroki mendongak dan baru tersadar, dia tidak hanya berdua saja dengan Shou, tapi ada satu gadis lagi di depan mereka.
“I love you,” ulang Shou sambil menatap gadis itu mesra.
Hiroki ternganga, dia baru menyadari, betapa bodohnya dia. Kenapa dia bisa mengira Shou menyatakan itu untuknya? Bodoh! Perlahan, Hiroki memilih pergi dari situ tanpa menimbulkan suara.
“Semoga kau bahagia Shou-senpai…” katanya sambil menahan tangis.
***
Tora berjalan mondar-mandir di depan rumahnya dengan gusar. Ekspresinya saat itu benar-benar seperti macan yang siap mengamuk, menerkam siapa saja yang mengganggu. Baru kali ini, dia pulang malam dan mendapati rumahnya masih kosong tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu baik dari Akai ataupun Shou.
“Kemana mereka berdua?” gumam Tora geram sambil mencoba menghubungi kedua adiknya. Tapi hasilnya nihil. Mereka berdua tidak mengangkat telepon dari Tora. Wajar saja Tora was-was, hilangnya kedua orangtuanya menimbulkan trauma yang cukup parah apalagi, kedua adiknya sekarang menjadi tanggung jawabnya penuh.
“Tadaima…” gumam Shou lesu dengan muka sendu sambil membuka gerbang. “Ah, Tora-nii kau belum masuk?!”
“BAKA! KEMANA SAJA KALIAN SEHARIAN INI?!” bentak Tora penuh amarah.
“A… aku…”
“Mana Akai?”
Shou menatap Tora dengan tatapan heran sekaligus takut. “Bukannya dia sudah pulang?”
“PULANG KEMANA? RUMAH INI KOSONG!!!”
Shou menganga lalu menepuk jidatnya. “Mati aku…”
***
“Sudahlah… banyak pria di dunia ini,” kata Hiroto sambil mengulurkan tissue ke Hiroki yang menangis sesunggukan. “Sepertinya Amano bersaudara memang memiliki gen mematahkan hati bagi keluarga kita ya?”
“Jangan samakan aku denganmu Pon!” bentak Hiroki sambil memungut HP nya yang berbunyi.
“Siapa? Kenapa tak kau angkat?”
“Shou senpai, biarkan saja.”
Hiroto menggelengkan kepala sambil berdecak. Lalu merogoh sakunya mengambil HP nya yang berbunyi. “Ah, dia meneleponku juga rupanya…”
“Abaikan saja… ah, kenapa kau angkat pon!” seru Hiroki gemas, merasa saudara kembarnya tidak merasakan perasaan yang sama dengannya.
“Ah? Tidak. Aku tidak tahu. Kenapa? Oh, iya… baiklah…”
“Kenapa?”
“Kau ini… kau tidak mau mengangkat teleponnya, tetapi kau mau tau apa yang dia bicarakan,” ejek Hiroki sambil menghindar dari pukulan Hiroki.
“Aku serius!”
“Dis tanya, apa Akai disini. Dia belum pulang.”
“Akai?”
“Iya… aku tebak, mungkin saat ini dia sedang melarikan diri dengan si Masahito itu. Aku heran, apa sih yang dia lihat dari cowok berandal itu? Oke, dia memang sedikit lebih tampan dariku, giginya lebih rata dariku, dan dia lebih tinggi dariku, lebih kaya, lebih… oh shit! Oke, paling tidak aku lebih baik dan lebih pintar darinya, iya kan?”tanya Hiroto meminta dukungan.
“Bisa jadi…” gumam Hiroki mengambil hp nya. “Halo, aku mungkin tau dimana dia…”
***
Saga mengatur nafas sambil menguatkan tekadnya. Pintu itu tidak terlalu kuat untuk sekedar dibuka paksa dengan satu dua tendangan hasil latihan tae kwon do nya dari kecil. Masalahnya, snaggupkah dia menahan semua masalah yang timbul setelah itu?
Tapi… Saga sudah tidak bisa menahan kesabarannya setelah 10 jam menunggu diluar, apalagi, jam 11 malam adalah waktu yang terlalu larut bagi wanita di dalam apartemen pria tanpa melakukan apapun.
Terlebih lagi… ada sedikit rasa tidak rela…
“Yosh! Ganbatte Saga-kun! HIYAAAAAAA~~~”
BRUAK!!!
***

Bersambung